Sabtu, 03 September 2011

++geliat pengrajin lokal diera persaingan ekonomi global (1)++

*Dilindas bedcover, tikar pandan terkoyak dinegeri sendiri*

orang sabu dikenal dari buatan tangannya. orang raijua misalnya dikenal karena mumpuni menganyam tikar pandan. orang liae dikenal pandai membuat periuk tanah dan pandai besi. orang mehara ulet menun kalin adat. orang timu dan seba adalah lumbung pangan tempat barter hasil kerajinan lokal.
tapi apa yang diwariskan para leluhur seperti kerajinan tikar pandan kini tinggal safar terakhir. zaman berubah, dan orang mulai gampang melupakan identitasnya. zaman kasur empuk dilangkapi bedcover, atau tikar plastik buatan orang luar, sudah menjadi impian orang sabu. padahal tikar pandan adalah tikar kehormatan para raja ketika harus duduk diambang pintu rumah adat untuk berkumpul dan bermusyawarah, apakah tikar pandan itu masih ada???
JOEY RIHI GA, SABU

rambutnya sudah mulai memutih, tapi sorot matanya begitu tajam. tangannya yang hitam rapuh begitu lincah menganyam sebuah tikar didepan rumahnya. gulungan daun pandan yang telah dihaluskan tersimpan rapi dan tergantung diatap rumahnya. memang untuk menghasilkan sebuah tikar pandan yang baik membutuhkan banyak daun pandan. namanya Mina Degi perempuan setengah baya asal desa ledeunu kecamatan raijua,saat berkenalan timor express bulan november silam. walaupun dengan bahasa daerah yang sulit dimengerti, karena Mina hegi menggunakan bahsa raijua tapi dia tetap melayani dengan ramah setiap pertanyaan yang diajukan dalam bahasa sabu logat sabu sabu timur. dia bercerita bahwa setelah badai penyakit mengoyakkan mimpi orang raijua dimana rumput laut mati akibat penyakit dan pencemaran laut. maka orang raijua kelimpungan. Mereka yang dulunya tidak pernah memgang uang dalam jumlah yang banyak tiba tiba harus menerima kenyataan sebagai orang kaya baru dari hasil rumput laut. Mereka bingung tidak tahu mau dikemanakan uang tersebut, bagi yang ingin punya motor mereka bisa mewujudkannya, bagi yang ingin punya punya rumah lengkap dengan perabot dan sarana hiburannya juga bisa terwujud tapi tak sedikit pula yang uang nya habis hanya diarena judi entah itu judi ayam atau jenis judi lainnya sebab permainan judi jenis apa yang mereka tak kenal, mereka tahu bahkan lincah memainkannya, bukan saja lelaki bahkan wanita bukan lagi hal yang tabu. Hanya sedikit saja yang pikirannya bisa panjang untuk menuju bank selebihnya hanya di simpan di bawah bantal atau di bawah tempat tidur tidak tahu uang itu harus di simpan dimana karena bagi mereka di bawah bantal atau di bawah tikar atau di lubang bambu rumah mereka adalah tempat teraman untuk menimpan uang. Benar benar bak mimpi di siang bolong. Kenyataan bahwa hidup mereka berubah memang tak terbantahkan. Namun ketika itu semua berakhir seiring rumput laut yang lenyap di raijua maka mereka bingung hendak berbuat apa, hidup sudah terlanjur enak. Ada yang kembali ke pohon tuak tapi ada juga yang mencari profesi lain atau kembali ke habitat. Orang raijua terkenal sebagai pengrajin tikar pandan, buatannya halus dan rapi tapi sekarang kurang diminati karena kalah saingan dengan tikar buatan pabrik, padahal dulu menjadi tikar para raja. Mina hegi mengungkapkan bahwa dirnya menjadi pengrajin tikar pandan karena memang hanya itulah keahlian yang diwariskan para leluhur padanya. dari sisi penghasilan tidak terlalu tidak terlalu memuaskan. Namun yang menjadi keprihatinannya saat ini adalah orang raijua sudah tidak cakap lagi menganyam tikar pandan, mereka justru lebih lincah mengikat rumput laut pada talinya. padahal nenek moyang selalu menurunkan keahliannya membuat tikar pandan bagi anak cucunya. Alasannya sederhana mengapa mereka meninggalkan kerajinan tikar pandang karena selain harganya murah, pembuatannya yang memakan waktu , dulu semua orang raijua bisa membuat tikar pandan sehingga tikar menjadi tak memiliki nilai jual. mina hegi berkisah bahwa dia harus keluar masuk kampung untuk mengumpulkan selembar demi selembar daun pandan di raijua untuk dikumpulkan sebagai bahan baku pembuatan tikar pandan. Untungnya tidak seberapa tapi lumayan buat makan dan biaya sekolah anak. disaat rumput laut kembali dibudidaya dinegeri gajah mada ini apakah tikar pandan akan ditinggalkan menjadi cerita pengantar tidur anak cucu?? ditangah maraknya persaingan di era global ini, kenapa orang sabu tidak lagi ingin merasakan hangatnya pelukan tikar yang menjadi lambang penghormatan ketika pahlawan nusantara duduk bersanding dengan para nikimaja yang kesohor hingga kolong langit asia kecil ?? mampukah orang raijua melakukan itu semua ???(bersambung)

++geliat pengrajin lokal diera persaingan ekonomi global (2)++

*menjaga kehormatan motif daerah dari para penjiplak*

jiplak-menjiplak motif daerah kini lagi marak dilakukan oleh mereka yang ingin mengeruk keuntungan lebih. disisi lain para penenun tradisional harus bertahan hanya demi cinta dan martabat nenek moyang, yang telah diwariskan turun-temurun. anehnya begitu banyak orang lebih suka memakai motif tiruan, daripada motif yang ditenun dengan rapi oleh para pengrajin. ditengah kegelisahan ini apakah pemerintah akan segera memproteksi motif dan corak tenunan sabu menjadi hak paten yang tidak boleh ditiru?

JOEY RIHI GA,Sabu
untuk memastikan bahwa apakah para perempuan dan anak gadis di sabu raijua masih terampil menenun kain adat sabu, maka harian ini melakukan penelusuran ke kecamatan hawu mehara tempat para penenun sabu membuat kain tenun adat warisan para leluhurnya.
saat memasuki desa lobohede salah satu desa di kecamatan hawu mehara harian ini langsung disuguhi panorama yang cukup indah dan mempesona. cukup dengan mengangkat kepala dan melemparkan pandangan kearah barat anda akan menkimati indahnya deburan obak di pesisir wilayah mehara. Kicauan burung maupun suara kokok ayam ditimpali suara tokek seakan memberi nuansa alam yang masih putih dan memberi kesan tak terlupakan bagi pengujung yang datang ke kecamatan mehara.
Mendekati bibir pantai di desa lobo hede pekan lalu ada seorang wanita setengah baya yang sedang duduk berdendang lagu sabu di degu-degu rumah panggung miliknya sambil menenun kain adat sabu Khas mehara. Bunyi ketukan alat tenun tradisional yang lincah dimainkan sang penenun seakan mengiringi nyanyian yang di dendangkan. Sebuah pemandangan desa yang indah dan tak bisa di jumpai di tempat lain. ketika ada suara anjing menggonggong tanda bahwa orang baru datang. secara tiba –tiba wanita penenun itu berhenti dan mendongakakn kepalanya untuk melihat siapa yang datang. Ketika melihat orang baru yang datang dia memberi isyarat dengan bahasa sabu dan seketika itu juga anjingnya berhenti menggongong. Saat dihampiri timor express perempuan setengah baya yang bernama Ratu Mata itu tersenyum mempersilahkan duduk. Ratu Mata bercerita dalam bahasa indonesia yang terbata bata sesekali ditimpali bahasa sabu mencoba menceritakan kebiasaan wanita mehara dalam hal kerajinan menenun. Dulu katanya setiap wanita anak mehara harus bisa menenun dan itu sudah diturunkan secara turun temurun dan menjadi warisan. Memang hasil dari menenun tdak seberapa tapi itulah keahlian yang bisa mendapatkan uang. Tapi sangat disayangkan sekarang sudah banyak anak anak gadis mehara yang tidak tahu lagi menenun, tangan mereka tak bisa lagi memintal dan membuat benang dari kapas dengan alat tenun tradisional warisan leluhur. Tangan mereka kini lebih lincah bermain tombol telepon selular ketimbang menennun. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi dari pada membersihkan kapas untuk bahan benang buat memintal. Ketika ditanya mengapa masih bergelut dengan menenun padahal sudah banyak orang meninggalkan warisan leluhur tersebut.Ratu Mata menceritakan bahwa dalam kurun waktu lebih kurang sepuluh tahun orang mehara tiba – tiba dimanjakan oleh uang hasil rumput laut, semua warga, kecil dan besar lelaki perempuan bertani rumput laut sehingga mereka meninggalkan kebiasaan menenun atau mengiris tuak. Orang mehara tiba tiba berubah jadi orang kaya baru dari hasil rumput laut, uang yang banyak membuat mereka bingung hendak dibuat apa, ada yang buat rumah beli televisi, beli motor dan juga beli keperluan lain bak orang kota yang kaya. Mereka lupa untuk menabung, mereka lupa menyisakan uang sebab mereka berpikir bertani rumput laut adalah cara yang enak buat mengais rupiah yang tak mungkin dilanda bencana. Tapi kenyataan bahwa rumput laut tiba tiba mati terserang penyakit dan pencemaran laut orang mehara kelimpungan, mereka bingung karena harus menerima kenyataan lahan uangnya  tidak bisa lagi berproduksi. Serasa langit menjadi runtuh bumi tempat berpijak seakan bergerak turun, wajah berseri yang dulu selalu nyata dalam kehidupan sehari hari kini nampak lesu tak berpengharapan. Kenyataan inilah yang membuat Ratu Mata kembali mengambil peralatan tenun yang sudah berdebu karena telah disimpan lama dipensiunkan dari pekerjaan seorang wanita mehara. Lalu kemudian dengan modal uang yang masih tersisa kemudian membeli benang dan kembali menunun kain adat. Hasilnya memang tak seberapa tak cukup buat makan sehari hari atau biaya sekolah anak dari hasil penjualan kain tenun. yang harus diapresiasi dari para penenun di mehara adalah kegigihan mereka untuk tetap mempertahankan apa yang menjadi warisan nenek moyang mereka. kini ditengah era globalisasi yang mengganas motif daerah menjadi sasaran untuk dijadikan lahan uang. ditoko-toko anda tinggal memilih. harapannya agar jangan samapai para penenun di sabu harus mengalah oleh ganasnya jiplak menjiplak lalu mereka harus pasrah memakai kain tenunan palsu sehingga akhirnya mereka juga lupa bagaimana menenun corak dan motif yang melambangkan siapa sesoarng itu, darimana dia berasal dan bagaimana kedudukannya ditengah masyarakat. semoga ini cepat diproteksi oleh pemerintah sehingga kain sabu yang telah melanglang buana tidak terkoyak oleh persaingan ekonomi dan ambruk oleh dunia jiplak menjiplak. semoga.(habis)    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar