Senin, 15 Desember 2014


Secangkir Kopi Di Beranda Timur Bersama Bupati Sabu Raijua


Seba, seputar-ntt.com – Malam itu adalah malam purnama di Kabupaten Sabu Raijua. Pada pagi tadi ada pelantikan anggota DPRD Sabu Raijua periode 2014-2019. Saat itu jarum jam sudah menunjukkan pukul 22.00 wita ketika seputar-ntt.com diajak Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome ke rumah jabtan Bupati yang terletak di jalan Tula Ika, kelurahan Mebba.
Saat itu hanya saya  dan Bupati yang duduk berbincang. Kami memilih beranda (teras) bagian timur sebagai tempat ngobrol sambil menikmati paras purnama di pulau sejuta lontar ini. Berbagai topik pembicaraan, mulai dari berbagai pembangunan di Sabu Raijua menjadi diskusi hangat kami malam itu. Mulai dari Tiga Pabrik yang sementara dibangun yakni pabrik rumput laut, air mineral dan pabrik garam yang kini sudah berproduksi.
Penghuni rumah jabatan Bupati sudah tidur semuanya, karena malam telah marayap mencapai titik waktu di pukul 23:00 wita. Jalan sudah sepi dan hanya saya dan bupati yang masih hangat berdiskusi seakan tak mau melepas malam berjalan sendiri. Namun tanpa saya duga, tiba-tiba Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome bangun menuju meja makan. Dia mengambil dua buah cangkir lalu membuat Kopi untuk kami berdua.
Saya terkejut karena baru kali ini saya menikmati kopi buatan tangan seorang kepala daerah. “Ayo minum biar tidak ngatuk,” kata Marthen Dira Tome. Sambil tersipu, saya lalu meneguk pelan kopi buatan sang bupati. Kami pun terus berdiskusi semakin dalam tentang apa saja yang sudah dibuat oleh pemerintah Kabupaten Sabu Raijua, selama 37 purnama Marthen Dira Tome dan Nikodemus Rihi Heke memimpin Kabupaten Sabu Raijua.
“Segala daya upaya telah kami lakukan untuk membangun daerah ini sekalipun dalam berbagai keterbatasan. sebagai pemimpin yang meletakkan dasar maka kami harus bekerja keras sekalipun harus diterpa berbagai tantangan baik yang datang dari luar maupun dari dalam masyarakat Sabu Raijua sendiri,” ujarnya.
Salah satu program nyata yang dilakukan kata Marthen Dira Tome adalah bagaimana masyarakat Sabu Raijua bisa terlepas dari ancaman krisis pangan dengan menjalankan program kebun rakyat mandiri. Kebun rakyat mandiri saat ini telah memberi dampak yang sangat luar biasa bagi pemenuhan pangan masyarakat.
Kebun rakyat mandiri adalah sebuah program menanam dimusim kemarau dengan memanfaatkan setiap potensi air yang ada di pulau semi arit ini. Marthen Dira Tome seakan tak pernah lelah berjalan dari satu desa ke desa lain untuk melihat dan memantau apa yang dikerjakan para petani serta mendengar pengeluhan mereka. Sebagai Bupati yang meletakkan dasar pembangunan di sabu raijua dia menyadari benar bahwa masyarakatnya harus kenyang dan terlepas dari anacaman kelaparan.
“Bagi kami masyarakat yang sejahtera adalah masyarakat yang mandiri dibidang pangan dan tidak lagi merasa takut oleh hantu rawan pangan. Maka jangan heran ketika puncak musim kemarau orang sbau raijua panen dimana-mana, panen jagung panen bawang dan panen berbagai hasil bumi yang mereka tanam saat musim kering mencengkram pulau Sabu. Bicara soal kebun rakyat mandiri adalah bicara tentang mimpi yang menjadi nyata dimana ditengah tanah yang tandus dan gersang yang mampu menghasilkan pangan bagi masyarakat,” ungkapnya.
Untuk mensukseskan program kebun rakyat mandiri ini, Bupati tak hanya beretorika dari balik meja, tidak pula hanya pintar berpidato dari atas podium tapi dia telah bercucuran keringat dan telah bersahabat dengan rasa letih hanya dengan satu tujuan agar apa yang didambakannya bisa menjadi nyata dalam kehidupan masyarakat.
“Pemerintah Sabu Raijua juga tidak segan-segan menggelontorkan dana untuk membantu para petani. Petani benar-benar menjadi raja dengan berbagai bantuan dan kemudahan yang diberikan oleh pemerintah,” pungkas Dira Tome.
Malam semakin larut dan rembulan yang malam itu paripurna dalam purnama telahcondong kearah barat. ayam telah berkokok dan kami harus menyudahi perbincangan di beranda timur saat malam purnama di Kota Para Dewa, Sabu Raijua. (joey rihi ga)

Mengurus Guriola, Dari Mone Ama Sampai Deo Ama


Seba, seputar-ntt.com – Siang itu, tepatnya hari Sabtu 9 Agustus 2014, matahari baru saja menyinari bumi sejuta lontar Rabu Raijua, ketika para Mone Ama (Pemangku adat) memasuki lokasi pembangunan embung Guriola di Desa Raenyale Kabupaten Sabu Raijua. Kedatangan mereka ke lokasi  itu adalah untuk melakukan ritual pembangunan embung.
Dua orang tua yang sudah berusia senja ini memakai pakaian adat lengkap. Mereka adalah Polodo dan Bawa Unu Deo. Keduanya adalah Pemangku adat di Kecamatan Sabu Barat dimana lokasi embung guriola sementara dibangun. Saat memasuki lokasi, mulut keduanya tak henti berkomat-kamit seperti sedang merapat mantra bagi para leluhur.
Pulodo yang telah berusia satu abad ini bernama Radja Tude Mata. Dia adalah salah satu dari pemilik lahan di Guriola. Saat memasuki lokasi dia langsung menanyakan diamana tempat pondasi utama dari Embung Guriola. Bupayi Sabu Raijua, Marthen Dira Tome yang menyambutnya, langsung membawa polodo ke tempat yang ditanyakan.
Kedua Mone ama yakni Polodo dan Bawa Unu Deo ini kemudian mengambil tiga buah batu dan meletakkan di tempat dimana akan dijadikan pondasi utama embung. Setiap batu diletakkan didahuli dengan mantra yang sulit didengar dan hanya terbaca dari gerakan bibir kedua mone ama. “semuanya sudah selesai dan silahkan memulai pekerjaan ini,” kata Raja Tude Mata, usai melakukan ritual.
Dengan suara terbata-bata karena usianya yang kian senja, Raja Tude Mata mengatakan bahwa sebagai Mone ama dirinya telah meminta restu para lelehur bagi pembangunan embung Guriola. Hal ini perlu dilakukan agar dalam pekerjaan tidak ada rintangan dan halangan yang ditemui baik oleh para pekerja maupun alat-alat yang digunakan untuk membangun embung.
“Sebagai Mone ama saya memiliki kewajiban untuk melakukan ritual ini dan sepanjang pembangunan ini memberi manfaat bagi banyak orang maupun anak cucu maka saya wajib melakukan ritual. Ini juga sebagai bentuk dudkungan untuk pembangunan embung ini,” ujarnya.
Usai melakukan ritual kedua Mone ama ini kembali ke tempat mereka. Sebelum menuju lokasi mereka telah mempersembahkan korban bagi para lelhuru berupa anak anjing, kambing, babi dan ayam merah. Darah dari empat binatang ini diyakini mampu membuka pintu restu dari para leluhur yang bersemayam di Ere Janna Ra, Horo Janna Lodo (Diatas Langit Senja Merah Saga).
Sehari sebelumnya Bupati Marthen Dira Tome mendatangi sendiri Mone Ama untuk berbagi pemikiran terkait pembangunan embung Guriola. Dari situlah kemudian para Mone Ama bersedia melakukan ritual untuk pembangunan. “Sebagai pemangku adat maka saya harus melihat kepentingan yang lebih besar. Jangan karena kemauan beberapa orang lalu membuat susah banyak orang,” kata Radja Tude Mata.
Dalam membangun Embung Guriola, tidak hanya ritual yang dilakukan oleh Mone Ama yang masih menganut aliran Jingitiu. Pada sore harinya dilakukan ibadah syukur kepada Deo Ama (Allah Bapa) untuk pembangunan embung. Ibadah syukur ini dihadiri oleh ratusan masyarakat sekitar embung maupun dari beberapa desa tetangga terutama mereka yang senantiasa terkena imbas banjir dari Guriola ketika musim hujan tiba.
Usai Iabdah Syukur, Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome mengatakan bahwa banyak dinamika yang terjadi ketika Pembangunan embung Guriola dimulai. Padahal pembangunan embung ini sudah lama dinantikan oleh masyarakat, baik yang selama ini kekurangan air maupun oleh mereka yang selama ini senantiasa terkena banjir dari Guriola.
“Banyak orang yang membuat opini diluar tentang pembangunan embung. Banyak ujian yang dihadapi, namun sebagai pemimpin ini adalah sebuah perjalanan yang harus dilewati. Semua cemooh maupun pujian kami anggap sebagai warna lain dari kehidupan sebagai pemimpin,” katanya.
Diakuinya bahwa dalam membangun embung Guriola, pemerintah sudah melakukan pendekatan secara berulang-ulang kepada masyarakat, namun tetap saja ada penolakan. “Kami getol memperjuangkan embung ini karena kondisi kita yang sangat kesulitan air. Untuk menjawab kesulitan ini maka Pembangunan embung merupakan jalan keluar yang harus ditempuh bagimana kita mengubah air mata menjadi mata air,” ungkapnya.
Tak bisa dipungkiri kata Marthen Dira Tome bahwa ada sekelompok orang yang menghendaki pembangunan embung Guriola gagal. Padahal mereka hidup dalam kemewahan dirantau orang sementara orang Sabu yang merasakan sulitnya mendapatkan air. “Ada komunitas yang getol supaya ini gagal, mereka seperti enggan melihat pembangunan. Mereka mau Sabu Raijua dibiarkan tetap menjadi kampung halaman yang kalao mereka berkunjung semua tidak ada perubahan,” ujarnya.
Untuk diketahui, saat ini pembangunan embung Guriola sementara dilakukan. Aktifitasnya pembangunan terlihat dengan banyaknya kendaraan berat yang sementara bekerja. Embung ini bisa menampung air dalam kubikasi yang cukup besar. pembangunan embung ini diharapkan selain sebagai wadah penampung dan penyedia air baku bagi masyarakat yang selalu kesulitan air, juga untuk mengatisipasi banjir bagi masyarakat dibawah lokasi embung. (Joey Rihi Ga)



Ritual Pemau Do made, Cara Jingitiu Meretas Jalan Menuju Nirwana


Kematian bagi masyarakat adat atau penganut aliran kepercayaan Jingitiu di pulau Sabu dan Raijua adalah sebuah proses menuju dunia keabadian. Bagi mereka, jika sesorang meninggal dunia maka ada sejumlah proses ritual yang harus dilakukan oleh keluarga yang masih hidup. Mereka meyakini bahwa setiap orang yang meninggal dunia, rohnya akan melenggang ke nirwana atau surga apabila telah dilakukan ritual penyucian arwah atau pemau do made bagi orang yang telah meninggal tersebut.

Untuk melakukan ritual ini, dibutuhkan dana yang cukup lumayan karena akan membunuh korban sembelihan mulai dari ternak kecil hingga ternak besar, tergantung dari dari strata sosial sesorang. Ritual penyucian arwah harus dilakukan pada bulan tertentu sesuai dengan kalender adat dan perputaran bulan yakni pada hari ke enam setelah bulan purnama pada bulan kedelapan tahun masehi setiap tahunnya.

Salah satu tokoh masyarakat dan pelaku adat, Huki Tade mengatatakan, orang yang meninggal dalam sebuah kampung adat tertentu yang diikat oleh kekerabatan dan hirarki suku akan melakukan ritual penyucian arwah secara serentak.

“Ritual ini akan dilakukan atas kesepakatan semua  keluarga dari setiap orang yang meninggal dunia karena ini menyangkut dengan dana yang akan digunakan. Ritual ini tidak dilakukan setiap tahun. Bisa lima tahun sekali atau lebih sehingga jika ritualnya dilakukan ada puluhan orang mati yang arwahnya akan disucikan,” papar Huki saat ditemui di Kelurahan Limaggu, Kecamatan Sabu Timur, Kabupaten Sabu Raijua pada Akhir Agustur 2018.

Ritual Pemau Do Made dilakukan selama tuga hari berturut-turut. Pada hari pertama adalah hari
dimana semua keluarga dari orang yang meninggal akan berkumpul. Disini semua kerabat dan handaitolan serta orang yang berasal dari kampung tersebut akan berkumpul dengan membawa ternak seperti babi mapun kambing dan makanan padi, sorgum dan kacang hijau.

Kaum perempuan bertanggungjawab untuk mengumpulkan makanan berupa beras sementara para lelakinya bertanggungjawab mengumpulkan ternak. setelah semuanya berkumpul maka pada hari kedua akan dilakukan ritual penyucian bagi setiap orang yang telah meninggal di kuburan mereka masing-masing yang ditandai dengan batu. Kuburan orang mati yang masih jingitiu berbentuk bulat seperti sumur. Pada saat dikubur, orang yang meninggal akan diikat berbentuk bulat lalu dikuburkan.

Setiap keluarga dari orang yang meninggal seperti anak, istri atau kakak, adik dan ibu serta bapak nya akan memakai pakaian adat dengan motif tertentu sesuai dengan stratanya. Mereka akan diterima oleh orang yang paling dituakan dalam kampung dengan memangku mereka masing-masing sambil melafalkan Mantra adat yang keramat. Mantra tersebut intinya agar yang telah meninggal tidak boleh lagi mengganggu keluarga yang masih hidup karena mereka akan disucikan jalanya menuju nirwana.

Dengan demikian maka mereka sudah berbeda alam dengan dunia orang hidup. Ritual ini ditandai dengan memasak dalam satu periuk berbagai jenis makanan mulai dari beras merah, kacang hijau, kacang hitam beras ketan, maupun sorgum. Yang memasaknya adalah wanita-wanita tua dan selama proses memasak, mereka tidak boleh berbicara. Setelah itu, para lelaki telah menyiapakan seoekor domba putih dipintu luar kampung sebelah barat untuk dipotong  menjadi dua.

“Domba putih yang dipotong menjadi dua ini adalah lambang persembahan dan kurban bakaran bagi sang khalik sebagai tanda penyucian bagi mereka yang telah meninggal. Binatang kurban ini tidak boleh dimakan oleh orang yang satu suku dari orang yang ada dalam kampung ini karena itu akan mendatangkan malapetaka,”jelas Huki.

Pada malam hari kedua ritual, bagi orang mati yang meninggalkan istri atau suami akan dilakukan ritual khusus dimana mereka akan berpakaian putih-putih dibungkus dari kaki hingga kepala menyerupai pocong. Mereka kemudian dibawa keluar kampung pada tengah malam dengan nyanyian adat dan tangisan ratapan menuju tempat pembuangan barang-barang yang kotor dan berdosa. Dari situ mereka akan dimasukkan ke rumah adat kemudian disucikan dengan air dan asap dupa.
Pada hari ketiga, pagi harinya akan dilakukan prosesi bunuh binatang untuk dibagikan kepada setiap orang yang datang membawa sumbangan baik yang berupa ternak, beras atau uang. Ratusan binatang akan dipotong kemudian dibagikan dalam sebuah tempat yang dalam bahasa sabi disebut pai.

“Pembagian daging korban kepada setiap orang berdasarkan besarnya bawaan mereka. Seperti yang bawa binatang maka dia memperoleh daging yang lebih banyak dan seterusnya. Itu sudah menjadi tradisi dan adat kita disini,” ungkap huki.

Pada malam hari ketiga,  dilakukan kegiatan yang mengekspresikan kegembiraan berupa permaian lompat alu atau permainan bambu gila kalau dipulau Ambon. Selain itu, ada juga tarian pedoa yang dilakukan secara masal dalam kampung. Kendati demikian ritual penyucian arwah ini akan dikatakan genap dan selesai setelah tiga kali purnama kemudian dilakukan ritual penyucian yang disebut dengan Dabo Rao.

Dalam ritua Dabo Rao ini, binatang yang sisa yang belum dibunuh akan dibunuh untuk dimakan beramai ramai oleh keluarag sebagai tanda suka cita bahwa keluarga mereka telah tiba di nirwana setelah keluarga mereka yang hidup meretas jalanya menuju nirwana lewat prosesi atau ritual sakral pemau do made.( Joey rihi ga)

“Menggarami” Indonesia Dari Bibir Pantai Sabu Raijua

 
Seba, seputar-ntt.com – Dua jam lagi raja siang akan berpamitan dengan jagad raya menuju peraduan. Senin (24/11/2014) pukul 16.00 wita, seputar-ntt.com diajak oleh Bupati Sabu Raijua, Marthen Dira Tome untuk melihat tambak yang menggunakan teknologi geomembran di Desa Ledeana, Kecamatan Sabu Barat. Dengan sendal jepit di kaki, baju lengan panjang dilipat setengah, Bupati Sabu Raijua menyetir sendiri mobil hilux putih menuju pantai Ledeana.

Jaraknya cuma satu kilometer dari rumah jabatan bupati. Tambak garam yang berada persis di bibir pantai, terlihat seperti sawah. Ada beberapa “gunung putih” yang terlihat dari jauh. Namun ketika mendekat, gunung putih tersebut adalah tumpukan garam putih yang berkilauan tertimpa cahaya mentari sore. Ada beberapa orang yang sedang mengukur air didalam petak geomembram. Diseelah timur ada juga tambak yang sama dengan tumpukan garam yang sama pula.

“Ini garam kami di Sabu Raijua” kata Bupati Marthen Dira Tome sambil duduk duduk disamping tumpukan garam. Di Lokasi ini, ada dua gudang penyimpanan garam mentah sebelum dibawa ke Pabrik untuk diproduksi menjadi Garam Nataga cap Otak briliant yang kini telah meramaikan pasar garam lokal di Sabu dan Kupang. Dalam gudang penyimpanan ada ribuan karung garam mentah yang tersusun rapi.
Sambil berkeliling tambak, Bupati Marthen Dira Tome menuturkan bahwa saat ini Pemda Sabu Raijua sedang memperluas tabak garam di Sabu Raijua. “Saat ini selain di Sabu Barat ada juga di Desa Lobohede, Kecamatan Hawu Mehara yang sudah panen. Di Desa Bodae tepatnya di kampung Lobo Bali saat ini sementara dikerjakan tambaknya,” ungkap Marthen.
Dari satu hektar lahan tambak ungkap Marthen, bisa dipanen 15 ton garam mentah setiap 10 hari. “Arinya ada 45 ton garam yang kita panen dari satu hektar lahan tambak setiap bulannya,” papar Marthen. Tahun 2014 ini kata Marthen, ada 20 hektar lahan yang dikerjakan dan diharapkan bisa berproduksi sebelum hujan tiba. “Tahun 2015 kita bertekad untuk menambah menjadi 200 hektar,” tambanya.

Dengan hasil panen yang cukup banyak ini kata Marthen, maka dia ptimis, Sabu Raijua akan menggarami Indoensia kedepan dengan hasil produksi yang ada. “Banyak permintaan garam setelah mereka melihat hasil produksi kita, namun karena lahan tambak kami masih sedikit sehingga kami belum mampu menjabaw kebutuhan permintaan konsumen,” katanya.
Saat ini ada beberapa pabrik air mineral yang sudah menggunakan garam dari Sabu Raijua. Adapula yang memproduksi garam beryodum di Kupang dari garam Mentah Sabu Raijua. “Bisa dibayanghkan berapa banyak garam impor yang ada sehingga kita harus mampu menjawab tantangan pemerintah yang menginginkan tidak boleh ada lagi garam impor,”ujarnya.

Para pekerja di tambak garam ungkap Marthen dibayar dengan hasil penjualan garam sehingga tidak membebani keuangan Pemda. “Satu hektar lahar kita pekerjakan 10 orang tenaga kerja dengan gaji UMP. Mereka digaji dengan hasil keringat mereka sendiri. Nah kalau kita punya 200 hektar lahan maka kita sudah bisa membuka lowongan kerja untuk 2000 tenaga kerja,” ungkap Marthen.

“Kami kehabisan karung. Semua karung di Sabu habis, sehingga yang tertumpuk di tambak belum bisa dimasukkan ke dalam gudang,” kata Melky Wila, salah satu pekerja tambak garam. Karena itu kata Melky, pihaknya telah memesan karung dari Kupang untuk mengisi garam yang baru dipanen. “Harus diisi dalam karung khusus untuk garam sehingga kita sudah pesan,” sambungnya.
Melihat Potensi garam yang ada di Sabu Raijua, maka bukan hal yang mustahil jika suatu saat, Sabu Raijua akan menjadi daerah penghasil garam yang akan memenuhi kebutuhan garam nasional.(joey)