Sabtu, 03 September 2011

foto: JOEY RIHI GA
TAJI AYAM: Masyarakat di Kecamatan Liae sementara melaknakan ritual adat Bangaliwu

+++Mengenal budaya orang sabu.+++
*Bangaliwu, ritual perdamaian yang sakral*

Sabu dan Raijua adalah dua pulau di kabupaten kupang yang kini telah dilebur menjadi daerah otonom melalui palu DPR-RI di Senayan tanggal 28 oktober 2008 yang menghasulkan undang undang no 52  tentang pemekaran sabu raijua menjadi daerah otonom.
Dalamkehidupannya orang sabu tak pernah lepas dari adat dan budaya yang begitu melekat dan membiru dalam kegitan keseharian mereka, mulai dari ritual, kelahiran,ritual akil balik, ritual nikah adapt, ritual kematian serta bereebagai ritual lainnya dalam perjalanan panjang kehidupan orang sabu. Belum lagi ritual yang mengungkapkan soal sukacita, permusuhan maupun perdamaian yang hingga kini masih kukuh di pegang oleh orang sabu walau kini telah menjadi sebuah kabupaten, seakan tak pernah tersentuh oleh perubahan apapun ritual adapt di sabu tetap berjalan seiring dengan pergantian hari dan perputaran bumi mengelilingi mata hari. Pulau ini memiliki banyak sebutan tergantung dari cara orang melihat sabu dan mengenal adapt istiadatnya lalu memberi nama, ada yang bilang pulau para dew karea memang dalam kehidupan mereka tak lepas dari ritual bagi para dewa (Deo) setiap saat yang berpatokan pada kalender adat ( Warru hawu).
Dari sekian ritual atau acara adat yang ada di sabu raijua salah satu ritual Bangaliwu, nama bangaliwu juga merupakan salah satu nama bulan dalam alemnder adat dimana ketika bulan ( warru bangaliwu) ritual bangaliwu itu akan dilakukan. Dan untuk mengetahui lebih dekat acara bangaliwu harian timor express bertandang ke salah satu kecematan di sabu raijua yakni kecamatan liae yang bertepatan dengan pelaksanaan acara bangaliwu, sebab setiap acara ritual adapt tertentu seperti bangaliwu, atau hole acaranya di gilir dari raijua hingga seluruh sabu dengan waktu yang telah ditentukan menurut kalender adat sehingga masing-masing wilayah seperti dimu,liae,mehara, habba, raijua mendapatkan giliran dengan berpatokan pada hitungan bulan purnama.
Salah satu tokoh adat dan tokoh masyarakat dari desa Loborui kecamtan liae Markus Dake yang diminta camat liae Nimrot Bengkiuk untuk menemani timor expres menjelaskan bahwa ritual bangaliwu adalah ritual perdamaian diantara suku suku yang ada di sabu. Markus dake menjelaskan jaman dulu sering terjadi pertempuran di antara suku suku yang ada di sabu, dalam setiap peperangan tak sedikit korban jiwa yang melayang, untuk itu maka para pimpinan adapt seluruh sabu raijua kemudian bersepakat bahwa  tidak boleh lagi ada pertempuran fisik manusia tapi harus dig anti dengan media lain maka disepakati akan dig anti dengan ayam. Sehingga sejak itulah pertempuran tidak pernah lagi terjadi karena telah diganti dengan taji ayam yang melambangkan sebuah perdamaian keinginan untuk tidak saling membunuh tapi memelihara perdamaian.
Ritual adat bangaliwu di kecamatan liae dipusatkan pada sebuah puncak bukit di pertengahan dua desa yakni desa ledeke dan desa eilogo. Ditempat itu para ketua adat      ( Deo Rai) akan memagang pisau pusaka serta berpakaian adat lengkap, berselimut kain adat putih, menggunakan pengikat kepala atau destar dengan berbagai aksesoris dilehernya dengan seekor ayam jantan putih di lengannya akan mendaki jalanan terjal menuju atas bukit diikuti para tua adat lainya sesuai dengan struktur yang telah di atur kemudian diikuti oleh sanak saudara, anak cucu dan masyarakat umum lainnya. Di atas bukit tempat ritual bangaliwu akan dilakukan terletak beberapa buah batu megalitik yang indah diapit oleh dua pohon nitas yang dianggap sebagai tempat roh para leluhur dan para dewa bersemayam sehingga tidak boleh satu orang pun memetik daun nitas yang ada atau memindahkan batu sekecil apapun di tempat ritual yang telah berlangsung secara turun temurun. Orang atau warga yang boleh sampai ke tempat ritualpun adalah benar benar dari wilayah liae, tidak diperkenankan dari suku atau wilayah lain seperti dimu,mehara,habba dan raijua untuk naik ketempat upacara sebab kalau ada yang melanggar maka ada musibah yang akan menimpa.
Ketua adat atau Deo rai yang memegang peranan dalam ritual bangaliwu ini ketika tiba di atas bukit langsung mengucapkan bahasa sakral yang hanya diucapkan ketika ritual bangaliwu, kemudian menempatkan tempat sirih pinang di beberap tempat diatas batu serta di bawah pohon yang ada disekitar tempat ritual. Setelah sang deo rai melakukan ritual menempatkan sirih pinang sambil beruap bahasa sakral yang susah di maknai arau dimengerti oleh orang awam, maka deo rai bersama salah satu tetua adat setempat kemudian mengikat ayam yang dibawah dari rumah masing masing dengan pisau taji. Cara memasang piosau tajinyapun tidak seperti ayam lain yang hanya satu kaki yang di pasang pisaunya, tapi dalam ritual ini kedua kaki ayam akan diikat dengan pisau taji kemudian dilepas untuk berkelahi. Setelah salah satu ayam mati maka doe rai akan kembali mengucapkan kata kata sakral yang bila di terjemahkan secara lurus berbunyi “inilah tanda dan lambing perdamaian yang telah dilakukan secara turun temurun dan sejak saat ini jangan ada lagi peperangan diantara kamu, sesunggungnya bergangdengan tanganlah membawa sabu ke amanat leluhur menjadi pulau impian semua insan,”
Saat mengucapkan kata kata tersebut tangan deo rai akan diancungkan ke atas seperti melepas berkat atau meminta sesuatu. (joey rihi ga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar