Sabtu, 03 September 2011
JOEY RIHI GA/TIMEX
JUAL PERIUK : mata kaho salah satu pengrajin periuk tanah sementara berjalan keliling untuk menjajakan hasil kerajinan tangannya. untuk menjaul periuk tersebut dia harus berjalan berpuluh kilometer.
potensi dan indentitas lokal yang terlupakan di sarai (1)
identitias dalam sebongkah tanah liat yang kian memudar
sabu raijua memiliki potensi lokal yang menjadi penopang kehidupan masyarakatnya. keadaan alam telah menjadikan mereka orang-orang tangguh dalam mengelola apa yang ada di sekitar mereka, di kecamatan liae yang tandus, penduduknya hanya bisa berteman dengan tanah liat yang diubah menjadi periuk tanah. dan itu telah menjadi indentitas orang liae sebagai pengrajin periuk tanah di tempat lain di sabu mana mungkin anda menemukan tukang periuk. tapi, kini di liae sendiri, potensi itu kini kian memudar, diterjang badai industri aluminium.
JOEY RIHI GA,MENIA
Namanya ina mata kaho, warga desa kota hawu kecamatan liae. waktu bertemu dengan wanita ini, hari sudah tepat berada di ubun ubun. dia lagi terengah-engah menahan nafas yang memaksa paru-parunya untuk bekerja ektra. bagaimana tidak, dia harus berjalan kaki sekitar 15 kilometer dari kota hawu desa di kecamatan liae menuju bolou kecamatan sabu timur dengan pikulan diatas pundaknya. dua buah periuk tanah yang berukuran besar dia bawa untuk dijual kepada siapa yang membutuhkannya.dia berharap bahwa di hari proklamasi RI yang Ke 65 tersebut periuk tanahnya bisa laku. memang harganya tak seberapa cuma tujuh puluh ribu sebuah tapi masih bisa ditawar.
setiap orang sabu sudah tahu bahwa yang menjual periuk tanah cuma orang liae, lainnya tidak,itu pula yang menjadi potensi dan identitas mereka sebagai orang liae. ya..indentitas dan kebanggaan tentunya. ketika diajak ngobrol wanita yang berusia 42 tahun itu bercerita tentang masa lalu dimana periuk tanah adalah media satu satunya bagi orang sabu sebagai tempat masak, sebagai media penyimpanan gula sabu, sebagai tempat menampung air serta seabrek kegunaan lainya sebelum mereka mengenal, panci, dandang, tacu dan peralatan aluminium lainnya. orang liae tak punya tanah yang subur sehingga dalam kehiduapan mereka sehari hari hanya bertumpu pada tanah lait yang mereka olah sebagai periuk tanah. mereka membarternya dengan gula dan makanan di tempat lain seperti ke sabu timur atau sabu barat bahkan mehara. dulu setiap pemuda-pemudi laki perempuan akan belajar bagaimana membuat periuk tanah. yang pandai periukpun tidak disemua wilayah kwecamatan liae. hanya ada beberapa tempat yang menjadi sarang pengrajin periuk seperti di kota hawu, deme, hallapadji. namun kesohornya hingga seluruh pelosok sabu. entah kenapa hanya orang liae yang bisa membuat periuk yang lain tidak. sama seperti hanya orang raijua yang bisa menganyam tikar pandan yang lain tidak. kenapa demikian orang sabu sendiri tak tahu secara pasti. apakh itu memang warisan dari leluhur bagi setiap keturunan di masing masing wilayah di sabu raijua? namun kini pengguna periuk tanah sudah semakin sedikit, orang mulai gengsi menggunakan potensi lokal yang ada, orang sabu mulai malu dengan identitasnya sendiri. mereka lebih memilih barang toko, barang pabrik yang keren tanpa mereka tahu bahwa barang barang tersebut secara perlahan telah membunuh potensi dan identias orang sabu itu sendiri. jka demikian lantas apa yang harus diperbuat? harus rela melepas apa yang menjadi ciri orang sabu tersebut. dalam deru dan hiruk pikuknya genderang pemilukada sabu raijua, penulis belum pernah mendengar ada kandidat yang ingin mengangkat kembali potensi yang ada di setiap daerah. misalnya bagaimana memperhatikan kain tenun di mehara, bagaimana memperjuangkan tikar pandan di raijua tetap di pakai dan bisa dipasarkan ke luar sabu raijua atau bagaimana periuk tanah di liae dirubah menjadi gerabah yang bermutu dan berkualitas. di sulap menjadi vas bunga yang cantik atau asbak rokok yang mempesona sehingga geliat ekonomi kecil bisa menjalar diurat nadi pulau sabu. orang sabu menanti, namun setiap orang yang datang tak pernah melihat potensi tersebut. mata mereka terlampau jauh memandang ke tempat lain tanpa sadar bahwa kaki dan tubuh mereka sementara rebah dan berbaring di bumi rai hawu. mereka hanya menjanjikan sesuatu yang memang orang sabu belum liat. seperti dongeng pengantar tidur si buyung.(bersambung)
JOEY RIHI GA/TIMEX
ANYAM TIKAR : Mamo kedo salah satu pengrajin tikar pandan dari desa kolorae sementara menganyam tikar pandan untuk di jual. untk menghasilkan sebuah tikar pandan memerlukan waktu seminggu.
potensi dan indentitas lokal yang terlupakan di sarai (2-habis)
tikar pandan yang terkoyak dibumi gajah mada
tikar pandan yang ada di pulau sabu dan raijua hanya bisa dibuat oleh orang raijua, orang sabu dari tempat lain tidak bisa menganyam tikar kehormatan bagi orang sabu tersebut. tapi seiring waktu, tikar pandan yang menjadi tikar kebanggaan tersebut harus koyak oleh menjamurnya kasur busa,karpet dan sejenis tikar dari palstik yang lebih keren bila dibanding dengan daun pandang yang telah dihaluskan sebelum dianyam menjadi sebuah tikar.
JOEY RIHI GA,MENIA
mencari daun pandan rupanya sudah menjadi pekerjaan yang sangat sulit saat ini di pulau raijua. tidak seperti dulu yang dengan gampangnya orang bisa mendapatkan daun pandan sebagai bahan baku untuk membuat tikar pandan atau peralatan lainnya seperti tempat menaruh barang, makanan atau tempat menaruh sirih pinang atau oko mama dalam bahasa dawan. bagi pengrajin tikar pandang mereka harus merogoh kocek mereka demi mendapatkan daun pandan. padahal harga jualnya jika sudah menjadi sebuah tikar tidak terlalu mahal, karena memang sudah sedikit sekali oarng sabu mau menggunakan tikar buatan tangan sendiri dalam berbagai acara baik itu acara keluarga hingga acara akbar. mereka lebih bangga jika mereka duduk di atas karpet, tikar plastik bahkan berbaring di kasur busa. jika demikian sebegitu parahkan tikar pandan itu terkoyak dibuminya sendiri dan tanah yang dibanggakan sebagai tempat asal maha patih pada jaman majapahit itu? salah satu pengrajin tikar pandan mamo kedo yang ditemui di desa kolorae kecamatan raijua belum lama berselang, kepada timor express mengatakan bahwa dirinya terpaksa tetap menajalani profesi turun temurun tersebut karena memang hanya itulah yang bisa dilakukan sambil menanti kondisi laut membaik untuk kembali berbudidaya rumput laut.
"kalau untuk hidup memang tidak bisa lagi ama, soalnya ini daun pandan sa kitong harus beli. nah untuk membuat satu tikar perlu waktu satu minggu. kalau dijual harganya juga tidak mahal paling sekitar limapuluh ribu. intinya kita kerja ini supaya kita punya identitas ini jangan hilang saja karena memang kita orang raijua orang kenal karena tikar pandannya,"ujar mamo dalam bahasa sabu dialek raijua yang khas.
pantauan timor express di raijua, untuk mendapatkan bahan baku maka ada masyarakat yang berusaha mencarinya di hutan kemudian memotongnya untuk dijual. ada juga yang memang sengaja memelihara pohon pandan di pekerangan rumahnya kemudian daunnya di jual jika tidak punya waktu lagi untuk menganyam tikar. "cuma yang dulunya ada kebun pandan sekarang mereka sudah tebas habis karena mereka sudah tidak legi membuat tikar. mereka lebih memilih untuk kerja rumput laut atau bagi anak anak muda lebih suka keluar pulau untuk merantau bahkan ada yang pergi TKW. jadi kalau dulu setiap muda mudi harus bisa dan trampil mambuat tikar pandan sekarang tidak lagi. jari mereka sudah terlampau kaku untuk memegang dan menghaluskan daun pandan. tangan mereka justru lebih lincah menari diatas tuts handphone. mereka sudah lupa berdendang sambil menganyam, mereka lebih suka bercerita kilaunya rantauan sambil bergaya dengan pakaian moderen. celena umpan, celana kaki botol bahkan baju ketet ditas pusar. tidak lagi memakai kain sarung dan kebaya. di raijua anda hany akan bisa menemukan nuansa tradisionalnya pada warga yang berusia tua. jika demikian maka jangan heran jika tikar pandan itu akan semakin terkoyak dan hanya akan menjadi kisah bahkan dongeng di hari esok. lantas yang yang punya tanggungjawab untuk tetap mempertahankan ini semua? orang raijua? tentu. semoga dengan semangat otonomi yang ada tidak sampai menggerus dan mengubur setiap potensi, indetitas bahkan budaya leluhur yang telah mengurat akar dalam sejarah sabu raijua.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar