Jumat, 22 Februari 2013
JOEY RIHI GA
GULA SABU : Ina wila warga Desa Ramedue Kecamatan Hawu Mehara sementara memasak nira lontar menjadi gula Sabu sebagai mekanan pokok bagi keluarga selain beras dan jagung.
Gula Sabu sebagai makanan pokok lokal yang bisa menjadi potensi ekonomi bagi masyarakat
Aroma genit gula Sabu dipuncak musim kemarau
Ketika musim kemarau mulai memuncak dan mencurahkan hawa panas di Kabupaten Sabu Raijua, pada saat yang bersamaan aroma genit gula Sabu menjadi penawar para penghuninya. Saat ini hampir semua masyarakat sedang sibuk dengan memasak gula Sabu yang selalu mengeluarkan bau harum pertanda Gula sudah mulai masak. Lantas apakah aroma dan rasa manisnya bisa menembus pasar moderen??
Joey Rihi Ga, Menia
Wanita renta yang telah dimakan usia ini sementara duduk dibawah pohon tuak sambil menunggu nira lontar yang dimasaknya menjadi gula. Nira lontar hasil sadapan anaknya pada waktu pagi, kini menjadi tugasnya untuk dimasak menjadi gula sebagai makanan pokok keluarga sederhana ini. Namanya Ina wila warga Desa Ramedue Kecamatan Hawu Mehara, kepada koran ini mengaku bahwa setiap hari dirinya bisa memasak sepuluh liter gula Sabu saat ini. tergantung dari hasil nira yang disadap, kalau banyak berarti gula yang dihasulkan juga cukup banyak. Jika dijual maka lima liter gula Sabu seharga enam puluh ribu rupiah. dulu katanya gula Sabu tidak dijualbelikan tapi cukup diimpan sebagai peresdiaan makanan dikala musim paceklik. Tapi seiring berjalannya waktu kini gula Sabu sudah dibaru banyak orang dan harganya mulai meningkat.
Gula Sabu hanya dikenal sebagai oleh-oleh dari Sabu Raijua, selebihnya belum mampu mengintervensi pasar yang lebih luas sehingga memberi dampak ekonomi bagi masyarakatnya. Gula Sabu terlampau rendah nilainya jika hanya dijadikan oleh-oleh dalam wadah tanpa label. padahal ketenaran gula Sabu boleh dibilang telah melangit di bumi Flobamora bahkan diluar NTT. tapi nasibnya tetap begitu saja, tak pernah berubah, sama seperti rasa manisnya yang selalu dirindu banyak orang. untuk mengolah gula Sabu tidak gampang, membutuhkan waktu yang cukup panjang, keringat yang bercucuran serta kecermatan yang cukup hingga menjadi gula yang kental. Untuk memasak Gula diperlukan kayu api yang cukup banyak padahal budaya menanam disana hampir dikatakan tidak ada sehingga jangan heran jika pada saat sekarang begitu banyak pohon yang rantingnya di babat habis untuk dijadikan kayu api. Kenyataan bahwa Gula Sabu diburu oleh banyak orang jelas terlihat ketiak ada kapal yang keluar dari Sabu, bahkan hampir dalam setiap penerbangan selalu ada gula yang bawa keluar. Ketika kapal Awu bersandar di Pelbuhan Biu misalnya, kita bisa melihat begitu banyak gula berseliweran di dermaga dan semuanya laku terjual. Harganyapun terbilang bagus, satu jerigen berukuran lima liter dijual dengan harga enam puluh ribu rupiah. Lalu apakah nasibnya hanya sekedar menjadi oleh-oleh?? itu yang harus dipikrikan oleh pemerintah saat ini. Bupati Sabu Raijua, Ir. Marthen Luther Dira Tome, selalu menekankan agar Dinas prindustrian dan perdangan tidak boleh berpangkutangan, tapi harus kreatif dalam mengolah setiap potensi lokal yang ada sehingga potensi seperti gula Sabu bisa menembus pasaran dan merubah kehidupan ekonomi masyarakat. Masyarakat memang hanya bisa memasak gula, jarang yang membuat Gula semut atau Gula lempeng yang mungkin secara ekonomi lebih laris untuk dijual. tau memang gula Sabu tidak bisa lagi diolah menjadi barang lain yang bisa mengalihkan perhatian orang atu memang dinas teknisnya yang kurang inovatif?? itu masih menjad pertanyaan. dari gula orang bisa menyuling minuman keras yang dikenal dengan sebutan Sopi dimana harga jualnya cukup bagus namun minuman lokal ini masih ilegal karena belum diberi label dan memiliki ijin produksi. Kalupun berhasil dibawa keluar, itupun hanya hasil main mata dengan aparat. kalau mau supaya jagan ada main mata maka perlu dilegalkan dan itu tugasnya pemerintah. Demikian juga untuk bagaimana Gula Sabu bisa tampil genit dalam kemasan yang memang menunjukkan barang berkualitas dari Sabu. Ada label yang bertulis "Made In Savu" sehingga membuat bangga para penghuni pulau Sejuta lontar ini. Koran ini sempat melihat ada kecap mnis gula Sabu yang dibuat oleh Tim penggerak PKK bimbingan Ny Irna Dira Tome, tapi skalanya telampau kecil. Padahal ketiak pameran pembangunan saat HUT RI yang ke-66 di Arena Promosi Fatululi agustus kemarin Gula Sabu habis terjual di dalam Stand Kabupaten Sabu Raijua. Memang waktu itu sudah didalam kemasan yang lebih bagus, dengan tulisan kecil "gula Sabu". Selain dimasak menjadi Gula Nira lontar juga bisa dibuat menjadi Bio ethanol tapi peralatan penunjangnya atau pabriknya terbilang cukup mahal, mencapai angka triliun rupiah. Butuh waktu lama. yang diharapkan saat ini bagaimana gula Sabu ini bisa pasarkan dengan nilai yang lumayan dan bermartabat,tidak sekedar menjadi oleh-oleh saja. Yang menjadi pertanyaan, mampukan aroma genit gula Sabu menembus pasar moderen??)))
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar